Iqbal
murid kelas 3 SD itu baru berusia 9 tahun, melihat dari wajah, kulitnya yang
bersih dan penampilannya,, dia bisa digolongkan anak dari orang tua yang
ekonominya cukup baik. Sekolahnya saja di sekolah swasta favorite yang berbayar
mahal dan setiap hari diantar jemput dengan menggunakan kendaraan roda empat.
Namun, dalam keseharian Iqbal sering sekali murung, dari matanya terlihat
seperti ada beban berat yang dipikulnya.
Ibu Weni Suryandari yang biasa
dipanggil Bu Weni adalah guru walikelas SD kelas 3 dimana Iqbal menjadi murid
perwaliannya. Bu Weni adalah guru yang sangat perhatian terhadap perkembangan
belajar dan perilaku murid-muridnya. Melihat arsip nilai dan catatan perilaku,
Ia melihat ada yang janggal dari nilai hasil ulangan yang diperoleh Iqbal. Untuk
beberapa mata pelajaran yang membutuhkan nalar, ia mendapat nilai selalu di
bawah angka 4, sangat jauh dari seluruh teman-temannya yang rata-rata mendapat
nilai 7.
Untuk mendapat informasi tentang
kondisi belajar Iqbal di rumah, Bu Weni mengundang Orangtuanya Iqbal untuk
datang ke Sekolah. Pada kesempatan berbincang-bincang dengan Ibunya Iqbal
(Bundanya Iqbal), Bu Weni menyampaikan hasil belajar Iqbal yang jauh di bawah
rata-rata nilai temannya, mendapatkan kenyataan itu bundanya Iqbal terlihat
sangat kecewa, dan mengatakan, “padahal Iqbal sudah ikut les matematika kumon
dan bahasa inggris”, ujarnya.
Iqbal segera memasuki ruang tempat
guru dan orang tuanya bertemu dan duduk disamping ibunya, Ibunya segera
menyampaikan kekecewaannya dengan mengatakan, “Iqbaal, kan sudah ikut lest
kumon dan bahasa inggris, kenapa nilaimu masih jelek?” lalu, menyampaikan
keluhannya bahwa Iqbal sulit sekali kalau disuruh belajar, daya tangkapnya
kurang dan lain-lain. Agar tidak semakin dipermalukan, Bu Guru Weni meminta Iqbal
untuk bermain di luar.
Sesaat kemudian, masuk seorang gadis
cilik mendekat ke Bundanya Iqbal lalu menggelendot, gadis cilik tersebut
kemudian diketahui bernama Salsabila, ia adalah adiknya Iqbal. Kepada Bu Guru
Weni, Bundanya Iqbal memuji muji perilaku Salsabila sebagai anak yang rajin,
pintar dan penurut. Nilai-nilainya di sekolah pun bagus-bagus, tidak seperti
Iqbal yang malas belajar, dan selalu mendapat nilai buruk.
Dengan mendapat informasi dan
perilaku orang tua terhadap anaknya, Bu Guru Weni, segera menyimpulkan bahwa
harga diri Iqbal telah dicederai oleh orang tuanya sendiri, hasil belajar dan
perilaku kesehariannya dicemooh dan dibanding-bandingkan dengan adiknya, ini
yang membuat Iqbal sering murung dan merasa tidak percaya diri. Selanjutnya, Bu
Guru Weni mengharapkan Bundanya Iqbal untuk tidak melakukan perbuatan yang
mencederai harga diri anaknya dan memberi dorongan dan pujian bila ia berhasil
melakukan suatu pekerjaan. Dengan menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri
anak akan kembali pulih, kata Bu Guru Weni dengan bijak.
Pada akhir tahun saat kenaikan
kelas, perilaku Iqbal sudah jauh berubah, dia sudah berani menatap lawan
bicaranya, lebih riang, dan prestasinya jauh meningkat dibanding sebelum
peristiwa bundanya datang ke sekolah.
(Sumber : Diadopsi dari pengalaman
Weni Suryandari (2013), Buku Hope and Dream, Memoar Guru ).
***
Apa
yang dialami Iqbal tersebut adalah hal yang banyak terjadi di banyak anak-anak
yang dilakukan orangtuanya sendiri. Tindakan membanding-bandingkan anak dengan orang
lain, meremehkan kemampuan anak, dan mencemooh, secara tidak sadar akan membuat
anak tidak percaya diri dan meruntuhkan harga diri anak.
Secara detail
Nathaniel Branden (2005) menyampaikan sikap yang menyebabkan harga diri anak
tercederai, adalah;
- Menyampaikan
bahwa si anak tidak “cukup memadai”
- Menghukum
si anak karena mengungkapkan perasaan perasaan yang “tidak dapat diterima”
- Mengolok-olok
atau mempermalukan anak
- Menyampaikan
bahwa pemikiran atau perasaan si anak tidak berharga atau tidak penting
- Berusaha
mengendalikan anak dengan perasaan malu atau bersalah
- Terlalu
melindungi anak sehingga akibatnya menghambat pembelajaran yang normal dan
meningkatkan pengandalan diri
- Membesarkan
anak tanpa aturan sama sekali, dan dengan demikian tidak ada struktur
pendukung, atau jika tidak peraturan-peraturan yang kontradiktif,
membingungkan, tidak dapat didiskusikan dan menekan serta menghambat
pertumbuhan yang normal.
- Menyangkal
persepsi anak tentang kenyataan dan secara implicit mendorong anak untuk
meragukan pemikirannya.
- Memperlakukan
fakta-fakta yang jelas sebagai sesuatu yang tidak nyata, dengan demikian
mengguncang perasaaan rasionalitas anak.
- Meneror
anak dengan kekerasan fisik atau ancaman, dengan demikian menanamkan
perasaan takut yang akut sebagai karakteristik yang terus ada dalam diri
si anak.
- Mengajarkan
bahwa anak itu tidak baik, tidak berharga, atau berdosa karena kodratnya.
Jacinta
F.Rini seorang Psikolog dalam e-psikologi.com mengatakan bahwa Level dan
kestabilan Self-Esteem
(SE) pada anak berusia 11 - 12 tahun ternyata memiliki korelasi yang kuat
dengan hasil persepsi mereka terhadap berbagai aspek yang terkait dalam
hubungan komunikasi orangtua - anak. Demikian hasil penelitian yang dilakukan
Anita Brown, dkk dari University of Georgia. Dibandingkan dengan
anak-anak yang memiliki Self-esteem
yang stabil, anak-anak dengan SE yang tidak stabil melaporkan bahwa orangtua
mereka ternyata suka mengkritik, mengontrol secara berlebihan, dan kurang
menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan oleh anaknya. Sementara
itu, anak-anak dengan Self-Esteem rendah melaporkan bahwa orangtua mereka lebih
banyak mengkritik, mengawasi dengan ketat dan kurang menghargai
perilaku-perilaku positif yang dilakukan anaknya dalam rentang waktu yang cukup
lama dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-Esteem
tinggi. Sementara itu, ayah (orangtua) dari anak-anak yang memiliki Self Esteem
tinggi dianggap memiliki kemampuan khusus dalam memecahkan masalah atau
persoalan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar