Menikmati kopi

Menikmati kopi

Selasa, 22 Maret 2016

FAKTOR FAKTOR YANG DAPAT MENCEDERAI HARGA DIRI ANAK



Iqbal murid kelas 3 SD itu baru berusia 9 tahun, melihat dari wajah, kulitnya yang bersih dan penampilannya,, dia bisa digolongkan anak dari orang tua yang ekonominya cukup baik. Sekolahnya saja di sekolah swasta favorite yang berbayar mahal dan setiap hari diantar jemput dengan menggunakan kendaraan roda empat. Namun, dalam keseharian Iqbal sering sekali murung, dari matanya terlihat seperti ada beban berat yang dipikulnya.
            Ibu Weni Suryandari yang biasa dipanggil Bu Weni adalah guru walikelas SD kelas 3 dimana Iqbal menjadi murid perwaliannya. Bu Weni adalah guru yang sangat perhatian terhadap perkembangan belajar dan perilaku murid-muridnya. Melihat arsip nilai dan catatan perilaku, Ia melihat ada yang janggal dari nilai hasil ulangan yang diperoleh Iqbal. Untuk beberapa mata pelajaran yang membutuhkan nalar, ia mendapat nilai selalu di bawah angka 4, sangat jauh dari seluruh teman-temannya yang rata-rata mendapat nilai 7.
            Untuk mendapat informasi tentang kondisi belajar Iqbal di rumah, Bu Weni mengundang Orangtuanya Iqbal untuk datang ke Sekolah. Pada kesempatan berbincang-bincang dengan Ibunya Iqbal (Bundanya Iqbal), Bu Weni menyampaikan hasil belajar Iqbal yang jauh di bawah rata-rata nilai temannya, mendapatkan kenyataan itu bundanya Iqbal terlihat sangat kecewa, dan mengatakan, “padahal Iqbal sudah ikut les matematika kumon dan bahasa inggris”, ujarnya.
            Iqbal segera memasuki ruang tempat guru dan orang tuanya bertemu dan duduk disamping ibunya, Ibunya segera menyampaikan kekecewaannya dengan mengatakan, “Iqbaal, kan sudah ikut lest kumon dan bahasa inggris, kenapa nilaimu masih jelek?” lalu, menyampaikan keluhannya bahwa Iqbal sulit sekali kalau disuruh belajar, daya tangkapnya kurang dan lain-lain. Agar tidak semakin dipermalukan, Bu Guru Weni meminta Iqbal untuk bermain di luar.
            Sesaat kemudian, masuk seorang gadis cilik mendekat ke Bundanya Iqbal lalu menggelendot, gadis cilik tersebut kemudian diketahui bernama Salsabila, ia adalah adiknya Iqbal. Kepada Bu Guru Weni, Bundanya Iqbal memuji muji perilaku Salsabila sebagai anak yang rajin, pintar dan penurut. Nilai-nilainya di sekolah pun bagus-bagus, tidak seperti Iqbal yang malas belajar, dan selalu mendapat nilai buruk.
            Dengan mendapat informasi dan perilaku orang tua terhadap anaknya, Bu Guru Weni, segera menyimpulkan bahwa harga diri Iqbal telah dicederai oleh orang tuanya sendiri, hasil belajar dan perilaku kesehariannya dicemooh dan dibanding-bandingkan dengan adiknya, ini yang membuat Iqbal sering murung dan merasa tidak percaya diri. Selanjutnya, Bu Guru Weni mengharapkan Bundanya Iqbal untuk tidak melakukan perbuatan yang mencederai harga diri anaknya dan memberi dorongan dan pujian bila ia berhasil melakukan suatu pekerjaan. Dengan menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri anak akan kembali pulih, kata Bu Guru Weni dengan bijak.
            Pada akhir tahun saat kenaikan kelas, perilaku Iqbal sudah jauh berubah, dia sudah berani menatap lawan bicaranya, lebih riang, dan prestasinya jauh meningkat dibanding sebelum peristiwa bundanya datang ke sekolah.
(Sumber : Diadopsi dari pengalaman Weni Suryandari (2013), Buku Hope and Dream, Memoar Guru ).
***
Apa yang dialami Iqbal tersebut adalah hal yang banyak terjadi di banyak anak-anak yang dilakukan orangtuanya sendiri. Tindakan membanding-bandingkan anak dengan orang lain, meremehkan kemampuan anak, dan mencemooh, secara tidak sadar akan membuat anak tidak percaya diri dan meruntuhkan harga diri anak. 

Secara detail Nathaniel Branden (2005) menyampaikan sikap yang menyebabkan harga diri anak tercederai, adalah;
  • Menyampaikan bahwa si anak tidak “cukup memadai”
  • Menghukum si anak karena mengungkapkan perasaan perasaan yang “tidak dapat diterima”
  • Mengolok-olok atau mempermalukan anak
  • Menyampaikan bahwa pemikiran atau perasaan si anak tidak berharga atau tidak penting
  • Berusaha mengendalikan anak dengan perasaan malu atau bersalah
  • Terlalu melindungi anak sehingga akibatnya menghambat pembelajaran yang normal dan meningkatkan pengandalan diri
  • Membesarkan anak tanpa aturan sama sekali, dan dengan demikian tidak ada struktur pendukung, atau jika tidak peraturan-peraturan yang kontradiktif, membingungkan, tidak dapat didiskusikan dan menekan serta menghambat pertumbuhan yang normal.
  • Menyangkal persepsi anak tentang kenyataan dan secara implicit mendorong anak untuk meragukan pemikirannya.
  • Memperlakukan fakta-fakta yang jelas sebagai sesuatu yang tidak nyata, dengan demikian mengguncang perasaaan rasionalitas anak.
  • Meneror anak dengan kekerasan fisik atau ancaman, dengan demikian menanamkan perasaan takut yang akut sebagai karakteristik yang terus ada dalam diri si anak.
  • Mengajarkan bahwa anak itu tidak baik, tidak berharga, atau berdosa karena kodratnya.
           
            Jacinta F.Rini seorang Psikolog dalam e-psikologi.com mengatakan bahwa Level  dan kestabilan Self-Esteem (SE) pada anak berusia 11 - 12 tahun ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil persepsi mereka terhadap berbagai aspek yang terkait dalam hubungan komunikasi orangtua - anak. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Anita Brown, dkk dari University of Georgia.  Dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-esteem yang stabil, anak-anak dengan SE yang tidak stabil melaporkan bahwa orangtua mereka ternyata suka mengkritik, mengontrol secara berlebihan, dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan oleh anaknya. Sementara itu, anak-anak dengan Self-Esteem rendah melaporkan bahwa orangtua mereka lebih banyak mengkritik, mengawasi dengan ketat dan kurang menghargai perilaku-perilaku positif yang dilakukan anaknya dalam rentang waktu yang cukup lama  dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki Self-Esteem tinggi. Sementara itu, ayah (orangtua) dari anak-anak yang memiliki Self Esteem tinggi dianggap memiliki kemampuan khusus dalam memecahkan masalah atau persoalan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar