Bila Anda menuliskan kata kunci “Kejahatan Anak”pada mesin pencari kata Google di internet Anda akan terperanjat mendapatkan lebih dari 10.500.000 berita dan pembahasan tentang masalah kejahatan anak. Peristiwa peristiwa yang terekam mulai dari kejahatan kriminalitas, pembunuhan, perampokan, tawuran yang menggunakan senjata dan benda-benda keras dan tajam, kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual, tindakan-tindakan merusak diri seperti penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang Narkoba. Belum lagi peristiwa kekerasan dan kejahatan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak. Ini sudah sangat memprihatinkan.
Thomas Lickona, professor pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan bahwa ada “tanda-tanda zaman” yang harus diwaspadai karena kalau tanda-tanda itu sudah ada, sebuah bangsa akan menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda itu adalah 1). Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2). Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3). Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, 4). Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti narkoba, seks bebas, dan alkohol, 5). Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6). Penurunan etos kerja, 7). Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8). Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9). Ketidakjujuran yang begitu membudaya, 10).rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Melihat berita dan peristiwa di atas, kita boleh menilai, apakah bangsa kita sudah memiliki “tanda-tanda zaman” tersebut. jika benar adanya, apakah bangsa kita sudah diambang kehancuran?. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri menunggu kehancuran itu terjadi, atau melakukan pencegahan. Pertanyaannya, mengapa anak melakukan kekerasan dan kejahatan?, dan apa yang menyebabkan hal itu terjadi dan bagaimana cara mencegahnya?
Anak manusia yang terlahir di muka bumi ini merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada ayah dan ibu orang tuanya. Kata “amanah” bisa menunjukkan arti bahwa anak manusia tersebut adalah milik Tuhan yang “dititipkan” kepada orang tua si Anak tersebut. Orang tua yang diberi amanah tersebut bertanggung jawab secara lahir dan batin untuk memelihara anak tersebut, memperhatikan perkembangan fisiknya dan perkembangan psikologisnya. Orang tua juga harus bertanggung jawab pada kehidupan di dunia dan di akhirat kelak sebagai pertanggung jawaban terhadap amanah yang telah diberikan tersebut. Lawan dari kata “amanah” adalah “khianat”. Orang tua yang khianat kepada Tuhan adalah orang tua yang mengabaikan tanggung jawab, menyia-nyiakan kehidupan, dan membiarkan anak berkembang di lingkungan yang buruk, berperilaku buruk, dan melakukan kekerasan fisik dan mental kepada anak sehingga anak bersentuhan dengan dunia kejahatan.
Bila kita membicarakan kebaikan tentu saja kita juga akan membicarakan keburukan dan kejahatan. Lalu, adakah anak yang terlahir sebagai Penjahat? Saya terperenjat ketika membaca sebuah teori yang berseberangan dengan umumnya pendapat kita selama ini. Sebuah teori yang dikenal sebagai teori Lombroso dan pengikutnya, percaya bahwa kriminalitas adalah sesuatu yang diwariskan, Cesare Lombroso (1835 –1909) adalah seorang kriminolog Italia dan pendiri Mazhab Kriminologi Positivis Italia. Lombroso menolak pendapat Mazhab Klasik, yang menganggap bahwa kriminalitas adalah suatu ciri karakteristik yang terdapat pada sifat dasar manusia.
Sebaliknya, dengan menggunakan konsep-konsep yang diambil dari fisiognomi, eugenika awal, psikiatri, dan Darwinisme sosial, teori Lambroso mengenai antropologi kriminologi pada dasarnya menyatakan bahwa kriminalitas adalah sesuatu diwariskan, dan bahwa seseorang yang "dilahirkan bersifat kriminal" dapat diidentifikasi dengan memperhatikan cacat-cacat fisiknya, dengan demikian menegaskan bahwa seorang penjahat adalah sesorang yang biadab, atau memiliki atavisme (cacat tubuh bawaan). Selanjutnya ketika membedah otak seorang perampok, ia menyatakan bahwa otak perampok menyerupai, dalam tingkat tertentu dengan otak vertebrata yang lebih rendah. Observasi observasi itu membentuk pendahuluan bagi teori adanya sifat keturunan (bawaan) yang tersembunyi. Lombroso menganggap karakter karakter tertentu sebagai indikasi diri dari tempramen penjahat, diantaranya ; rambut ikal (keriting), mata sipit (cekung), dagu yang menonjol, alis melengkung, dan kepala besar atau kecil yang tidak normal, tulang pipi menonjol, telinga besar, hubungan yang tidak proporsional antara ukuran tengkorak dan wajah, dahi yang lebar. Ketika beberapa karakter ini pada seseorang, maka seseorang dapat mengetahui dengan pasti naturalitas kriminalnya, yang ia percaya. Ia menamakan karakter karakter ini dengan istilah “tanda-tanda dekadensi”.
Tentu saja teori Lombroso tersebut dibantah oleh para ilmuwan. Seorang ilmuwan Perancis Dr. Alexis Carrel dalam bukunya Man, The Unknown (1955) mengatakan bahwa penjahat (sejak) lahir yang dikemukakan Lombroso tersebut tidak ada. Akan tetapi ada orang yang dilahirkan tidak sempurna yang menjadi penjahat. Kenyataannya banyak penjahat terlihat normal. Mereka sering kali lebih pandai daripada polisi dan hakim. para sosiolog dan pekerja sosial tidak menemukan mereka selama survey mereka di penjara. Para gangster dan ‘bajingan’ kadang kadang memperlihatkan kenormalan dan bahkan bermental unggul, afektif dan melakukan aktivitas estetis. Namun sisi moral mereka tidak berkembang.
Teori Lombroso ini bertentangan dengan teori Tabula rasa yang telah lebih dahulu dikenal. John Locke pada abad ke 17 telah melansir teori yang sampai saat ini masih dipakai sebagai sebuah landasan berpikir. Tabula rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya. Umumnya para pendukung pandangan tabula rasa akan melihat bahwa pengalamanlah yang berpengaruh terhadap kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan.
Dalam pandangan agama Islam, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah, selanjutnya orang tuanyalah yang akan berperan apakah akan menjadi orang baik atau mendustai agama. Thabathaba`i dalam Sulayman Al- Kumayi menulis bahwa agama tidak lain kecuali kebutuhan hidup serta jalan yang harus ditempuh manusia agar mencapai kebahagiaan hidupnya. Manusia tidak menghendaki sesuatu melebihi kebahagiaan. Allah Swt telah memberi petunjuk kepada setiap jenis makhluk—melalui fitrahnya dan sesuai dengan jenisnya—petunjuk menuju kebahagiaannya yang merupakan tujuan hidupnya. Allah juga telah menyediakan untuknya sarana yang sesuai dengan tujuan itu. Allah berfirman: “Tuhan kita ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thaha [20]: 50).
Sayyid Mujataba (2009) dalam bukunya Hidup Kreatif, to change crisis be success, mengutip pendapat seorang psikolog kontemporer yang mengatakan bahwa sekarang ini terdapat anggapan yang meyakinkan, baik secara ilmiah maupun filosofis dan juga tanpa diperdebatkan bahwa tidak ada seorang manusia ‘jahat’; yang ada hanyalah manusia sakit. Penyakit spiritual ini bisa saja disebabkan oleh rasa iri, dengki, dendam, ketakutan, kelicikan, prasangka, ketidakterdugaan, penderitaan manusia, kepahitan, kebencian, konflik, ketidakadilan dan ratusan jenis sifat buruk dari penyakit penyakit spiritual yang harus diobati secara tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar