Menikmati kopi

Menikmati kopi

Selasa, 22 Maret 2016

TIPS MEMBANGUN INTEGRITAS DIRI PADA ANAK




Sebagian besar orang mengatakan bahwa integritas adalah kejujuran. Sebagian lagi menyamakan dengan “etika”. Integritas juga diartikan sebagai bersatunya antara kata dan perbuatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas diartikan sebagai  mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
                Kata “integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam konteks ini, integritas diartikan sebagai rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Integritas adalah sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan. Orang yang tidak memiliki integritas dikenali dengan cirinya kalau berkata. suka berbohong, kalau berjanji, mengingkari dan kalau diberi amanah, berkhianat.
            Stephen M.R. Covey (2010) dalam buku Speed of Trust, mengatakan bahwa integritas mencakup kejujuran, mengatakan kebenaran dan memberi kesan yang benar. Akan tetapi, setidaknya ada tiga kualitas tambahan yang sama pentingnya, kualitas tersebut adalah;

Konsistensi ; Seseorang memiliki integritas ketika tidak ada kesenjangan antara niat dan perilaku, ketika ia utuh, tak bersambung, sama-luar dalam. itu disebut sebagai konsistensi, dan konsistensi inilah yang pada akhirnya akan menciptakan kredibilitas dan kepercayaan. Sebelum saya memberikan sebuah  cerita tentang konsistensi untuk anak, saya ingin menyampaikan terlebih dahulu sebuah kisah teladan untuk kita para orang tua dan guru.
            Contoh kisah konsistensi ini saya ambil dari kisah Mahatma Gandhi. Pernah dalam kehidupannya, Gandhi diundang berbicara dihadapan House of Commons (Majelis Perwakilan Rendah) di Inggris. Tanpa menggunakan catatan, ia berbicara selama dua jam dan mengakibatkan pendengar yang pada prinsipnya tidak bersahabat itu menyambutnya dengan bertepuk tangan sambil berdiri. Setelah pidatonya, beberapa orang wartawan mendekati sekretarisnya Mahadev Desai, tidak percaya bahwa Gandhi sanggup memukau pendengarnya demikian lama tanpa catatan. Desai menjawab:
Yang Gandhi pikirkan, yang ia rasakan, yang ia ucapkan, dan yang ia lakukan semuanya sama. Ia tidak membutuhkan catatan, Anda dan saya, kita perpikir begini, merasa lain lagi, mengucapkan lain, dan melakukan lain lagi, jadi kita membutuhkan catatan dan arsip untuk melacaknya.
Gandhi bukan saja konsisten di dalam dirinya, dia juga konsisten dengan prinsip-prinsip yang ia junjung. Bukan saja ia mempunyai akar-akarnya, melainkan juga mempunyai akar utama yang tertanam dalam-dalam hingga ke waduk prinsip-prinsip abadi yang mengatur kehidupan.

Konsistensi Untuk Anak;  ada sebuah kisah teladan bagaimana agar tetap konsisten di dalam mendidik anak yang tantrum (ngamuk). Kisah yang saya kutip dari Ida S Widayanti dalam Majalah Suara Hidayatullah (September 2011). Kisahnya sebagai berikut :
            Seorang anak menangis keras menolak untuk sikat gigi sebelum tidur. Berbagai cara sudah dilakukan oleh ibunya, membujuk, memberi pengertian, dan memberi contoh. Tapi anak itu tetap menolak. Kini, ia mulai menggunakan amukan untuk menolak ‘ritual’ malam hari tersebut. Malam itu udara sangat panas, si ibu sudah sangat lelah. Secara mental, ia tidak siap menghadapi tantrum (ngamuk) anaknya itu. Makin dibujuk anak itu makin keras menangis dan tetap bersikukuh, “Mau tidur saja, tidak mau sikat gigi!”
            Lalu ibu itu menatap wajah anaknya, betapa mengenaskan. Wajah buah hatinya itu sudah terlihat lelah. Suaranya serak. Ia merasa amat kasihan, dan ingin memeluknya. Ia ingin membiarkan anak tidak sikat gigi, lalu cepat beristirahat. Dalam keadaan hampir frustasi dan nyaris ingin mengalah, ibu itu ingat tentang pentingnya konsistensi dalam mendidik anak. Ia pun teringat, sebagai orang tua jangan takut saat menerapkan konsistensi, mungkin anak akan tantrum untuk adu kekuatan.
            Ibu itu menarik nafas panjang dan hatinya menjadi sedikit ringan dan bertekad untuk tetap konsisten, namun dengan sikap tenang dan lembut, tanpa ancaman dan kemarahan. Ibu itu pun berkata, “Sayang, Ummi di sini ya menunggu Ade. Kita hanya akan tidur kalau sudah sikat gigi. Ummi sudah siapkan buku untuk kita baca sebelum tidur!” kata ibu tersebut yang sangat tahu kegemaran anaknya, yaitu dibacakan buku. Selama anak itu menangis, ia dan suaminya berdiskusi tentang arti penting konsistensi. Tujuannya mereka saling menguatkan, agar tak cepat menyerah.
            Ayah si anak itu membuka sebuah buku cerita dan membacakannya pada istrinya. Buku itu bercerita tentang buaya yang sakit gigi karena suka makan permen namun malas sikat gigi. Anak itu masih menangis tapi suaranya sudah lebih pelan. Lalu ia bilang, “Ummi aku ingin dipeluk Ummi!”
            “Ya ummi juga ingin peluk Ade. Ummi akan peluk kalau Ade akan tidur, tapi setelah sikat gigi ya!” jawab si ibu lembut. Tangisannya mereda lalu mendekat, “Ummi, aku mau sikat gigi!” katanya. Si ibu pun bernafas lega. Setelah acara bersih-bersih selesai dan ke tempat tidur, lalu ibu itu membacakan buku cerita tentang buaya yang sakit gigi karena suka makan permen namun malas sikat gigi, belum selesai buku dibaca anak itu sudah tertidur.
            Keesokan paginya, anak itu bicara sama ayahnya, “Abi, masa buaya tidak mau sikat gigi kalau mau tidur!” katanya. Tentu saja si ibu ingin tertawa mendengar ucapannya. Ia bersyukur malam itu ia bisa melewati malam itu dengan kesabaran terjaga untuk menjalankan konsistensi dalam menegakkan aturan serta membiasakan kegiatan positif.
Kisah di atas tentu kerap dialami para ibu. Godaan untuk melanggar aturan karena tidak tahan dengan amukan anak. Jika hal itu terjadi, maka selanjutnya anak akan menjadikan ‘amukan’ sebagai senjata untuk memenuhi keinginannya, menolak yang tak disukainya, dan untuk mengendalikan orang tua. Namun jika orang tua konsiten, anak akan belajar bahwa tidak ada gunanya nangis dan ngamuk, karena hanya akan membuatnya tak nyaman dan lelah. Saat anak ngamuk, orang tua bisa tetap menunjukkan rasa kasih sayang dan rasa respek pada anak. Orang tua hanya menunjukkan ketidaksetujuan pada sikap anak saja, dan selalu siap menolong anak untuk tetap konsisten pada aturan yang sudah ditetapkan.

Kerendahan hati; integritas juga mencakup kerendahan hati. Kerendahan hati diartikan sebagai sifat yang tidak sombong atau tidak angkuh. Pribadi yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan memiliki keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain merasa penting. Karena sesungguhnya setiap pribadi adalah istimewa. Setiap orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai. Manusia adalah pribadi yang harus diperlakukan khusus. Manusia adalah makhluk yang sangat sensitif. Jika kita meragukan hal ini, lihat diri kita sendiri dan perhatikan betapa mudahnya kita merasa disakiti atau tersinggung.
            Rendah hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangan sikap tenggang rasa, seta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban hidup ini.

Keberanian ; integritas juga mencakup keberanian untuk melakukan hal yang benar, bahkan meskipun itu berat. “Berani karena benar” slogan yang sering kita dengar.  Keberanian akan menimbulkan rasa percaya diri. Keberanian dan percaya diri dalam diri anak sedikit banyak dipengaruhi oleh pola pengasuhan orangtuanya. Kepercayaan diri yang dilatih sejak masa tumbuh kembang anak diharapkan akan melahirkan pribadi yang yakin atas dirinya, kompeten, dan menghargai dirinya secara sehat dan positif. Oleh karenanya ini menjadi tugas bagi para orang tua untuk dapat membantu mewujudkan anak menjadi pribadi yang positif tersebut.
            Orang tua sesibuk apapun hendaknya tetap memiliki waktu khusus untuk bersama dengan anaknya. Ketika anak meminta perhatian Anda, cobalah untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tinggalkan sebentar pekerjaan Anda, tatap matanya dan dengarkan ia bicara. Mengabaikannya akan membuat ia merasa tidak berharga, tidak layak untuk diperhatikan, dan ini bisa mengoyak rasa percaya dirinya. Selain perhatian dan kemauan untuk mendengarkan orang tua juga harus mampu menunjukan sikap menghargai. Biarkan anak melakukan sendiri apa yang sudah bisa ia lakukan. Janganlah terlalu over protective, biarkan anak untuk mencoba sendiri dan mengerti konsep sebab akibat dari suatu tingkah laku. Hal ini diperlukan agar anak terbiasa berfikir dan bersikap mandiri sebelum melakukan sesuatu.
            Dalam sebuah artikel yang berjudul Melatih Keberanian dan Harga Diri Anak, di web bookadvisormds.com menyatakan bahwa, Untuk menumbuhkan keberanian anak harus distimulasi sesering mungkin, salah satunya yaitu dengan memberikan kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pendapatnya. Untuk beberapa masalah anak dapat dilibatkan untuk dimintai pendapatnya.  Hal ini untuk melatih kepekaan dan memiliki jiwa kepemimpinan. Namun tidak semua pendapatnya harus dituruti. Apalagi jika berhubungan dengan kebutuhan orang lain.
            Biasakan anak untuk berani mencoba, bertanggung jawab dan berani mengambil resiko. Ajaklah anak untuk bersikap optimis. Apabila anak tidak bisa mengerjakan sesuatu, kondisikan anak untuk tetap berusaha dan katakan pada anak bahwa ia pasti bisa. Semua itu akan membuat ia tahu bahwa Anda percaya ia bisa dan mampu!. Berilah penghargaan kepada anak, sekecil apapun keberhasilan yang dibuatnya. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan dirinya untuk mencapai keberhasilan yang lebih besar. Apabila ia gagal dalam melakukan  sesuatu, besarkanlah hatinya, yakinkan bahwa dengan usaha dan tentu saja pertolongan dari Allah, suatu saat ia pasti bisa untuk mencapai apa yang diharapkan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar