Sebagian besar orang mengatakan
bahwa integritas adalah kejujuran. Sebagian lagi menyamakan dengan “etika”.
Integritas juga diartikan sebagai bersatunya antara kata dan perbuatan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau
keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan
yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Kata
“integritas” berasal dari kata sifat Latin integer (utuh, lengkap) Dalam
konteks ini, integritas diartikan sebagai rasa batin “keutuhan” yang berasal
dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Integritas adalah sebuah konsep konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, langkah-langkah,
prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika, integritas dianggap sebagai
kejujuran dan kebenaran yang merupakan kata kerja atau akurasi dari tindakan
seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan. Orang
yang tidak memiliki integritas dikenali dengan cirinya kalau berkata. suka
berbohong, kalau berjanji, mengingkari dan kalau diberi amanah, berkhianat.
Stephen
M.R. Covey (2010) dalam buku Speed of
Trust, mengatakan bahwa integritas mencakup kejujuran, mengatakan kebenaran
dan memberi kesan yang benar. Akan tetapi, setidaknya ada tiga kualitas
tambahan yang sama pentingnya, kualitas tersebut adalah;
Konsistensi
;
Seseorang memiliki integritas ketika tidak ada kesenjangan antara niat dan
perilaku, ketika ia utuh, tak bersambung, sama-luar dalam. itu disebut sebagai
konsistensi, dan konsistensi inilah yang pada akhirnya akan menciptakan
kredibilitas dan kepercayaan. Sebelum saya memberikan sebuah cerita tentang konsistensi untuk anak, saya
ingin menyampaikan terlebih dahulu sebuah kisah teladan untuk kita para orang
tua dan guru.
Contoh
kisah konsistensi ini saya ambil dari kisah Mahatma Gandhi. Pernah dalam
kehidupannya, Gandhi diundang berbicara dihadapan House of Commons (Majelis Perwakilan Rendah) di Inggris. Tanpa
menggunakan catatan, ia berbicara selama dua jam dan mengakibatkan pendengar
yang pada prinsipnya tidak bersahabat itu menyambutnya dengan bertepuk tangan
sambil berdiri. Setelah pidatonya, beberapa orang wartawan mendekati
sekretarisnya Mahadev Desai, tidak percaya bahwa Gandhi sanggup memukau
pendengarnya demikian lama tanpa catatan. Desai menjawab:
Yang
Gandhi pikirkan, yang ia rasakan, yang ia ucapkan, dan yang ia lakukan semuanya
sama. Ia tidak membutuhkan catatan, Anda dan saya, kita perpikir begini, merasa
lain lagi, mengucapkan lain, dan melakukan lain lagi, jadi kita membutuhkan
catatan dan arsip untuk melacaknya.
Gandhi bukan saja konsisten di
dalam dirinya, dia juga konsisten dengan prinsip-prinsip yang ia junjung. Bukan
saja ia mempunyai akar-akarnya, melainkan juga mempunyai akar utama yang
tertanam dalam-dalam hingga ke waduk prinsip-prinsip abadi yang mengatur
kehidupan.
Konsistensi
Untuk Anak; ada sebuah kisah teladan
bagaimana agar tetap konsisten di dalam mendidik anak yang tantrum (ngamuk).
Kisah yang saya kutip dari Ida S Widayanti dalam Majalah Suara Hidayatullah
(September 2011). Kisahnya sebagai berikut :
Seorang
anak menangis keras menolak untuk sikat gigi sebelum tidur. Berbagai cara sudah
dilakukan oleh ibunya, membujuk, memberi pengertian, dan memberi contoh. Tapi
anak itu tetap menolak. Kini, ia mulai menggunakan amukan untuk menolak
‘ritual’ malam hari tersebut. Malam itu udara sangat panas, si ibu sudah sangat
lelah. Secara mental, ia tidak siap menghadapi tantrum (ngamuk) anaknya itu.
Makin dibujuk anak itu makin keras menangis dan tetap bersikukuh, “Mau tidur
saja, tidak mau sikat gigi!”
Lalu
ibu itu menatap wajah anaknya, betapa mengenaskan. Wajah buah hatinya itu sudah
terlihat lelah. Suaranya serak. Ia merasa amat kasihan, dan ingin memeluknya.
Ia ingin membiarkan anak tidak sikat gigi, lalu cepat beristirahat. Dalam
keadaan hampir frustasi dan nyaris ingin mengalah, ibu itu ingat tentang
pentingnya konsistensi dalam mendidik anak. Ia pun teringat, sebagai orang tua
jangan takut saat menerapkan konsistensi, mungkin anak akan tantrum untuk adu
kekuatan.
Ibu
itu menarik nafas panjang dan hatinya menjadi sedikit ringan dan bertekad untuk
tetap konsisten, namun dengan sikap tenang dan lembut, tanpa ancaman dan
kemarahan. Ibu itu pun berkata, “Sayang, Ummi di sini ya menunggu Ade. Kita
hanya akan tidur kalau sudah sikat gigi. Ummi sudah siapkan buku untuk kita
baca sebelum tidur!” kata ibu tersebut yang sangat tahu kegemaran anaknya,
yaitu dibacakan buku. Selama anak itu menangis, ia dan suaminya berdiskusi
tentang arti penting konsistensi. Tujuannya mereka saling menguatkan, agar tak
cepat menyerah.
Ayah
si anak itu membuka sebuah buku cerita dan membacakannya pada istrinya. Buku
itu bercerita tentang buaya yang sakit gigi karena suka makan permen namun
malas sikat gigi. Anak itu masih menangis tapi suaranya sudah lebih pelan. Lalu
ia bilang, “Ummi aku ingin dipeluk Ummi!”
“Ya
ummi juga ingin peluk Ade. Ummi akan peluk kalau Ade akan tidur, tapi setelah
sikat gigi ya!” jawab si ibu lembut. Tangisannya mereda lalu mendekat, “Ummi,
aku mau sikat gigi!” katanya. Si ibu pun bernafas lega. Setelah acara
bersih-bersih selesai dan ke tempat tidur, lalu ibu itu membacakan buku cerita
tentang buaya yang sakit gigi karena suka makan permen namun malas sikat gigi,
belum selesai buku dibaca anak itu sudah tertidur.
Keesokan
paginya, anak itu bicara sama ayahnya, “Abi, masa buaya tidak mau sikat gigi
kalau mau tidur!” katanya. Tentu saja si ibu ingin tertawa mendengar ucapannya.
Ia bersyukur malam itu ia bisa melewati malam itu dengan kesabaran terjaga
untuk menjalankan konsistensi dalam menegakkan aturan serta membiasakan
kegiatan positif.
Kisah di atas tentu kerap
dialami para ibu. Godaan untuk melanggar aturan karena tidak tahan dengan
amukan anak. Jika hal itu terjadi, maka selanjutnya anak akan menjadikan
‘amukan’ sebagai senjata untuk memenuhi keinginannya, menolak yang tak
disukainya, dan untuk mengendalikan orang tua. Namun jika orang tua konsiten,
anak akan belajar bahwa tidak ada gunanya nangis dan ngamuk, karena hanya akan
membuatnya tak nyaman dan lelah. Saat anak ngamuk, orang tua bisa tetap
menunjukkan rasa kasih sayang dan rasa respek pada anak. Orang tua hanya
menunjukkan ketidaksetujuan pada sikap anak saja, dan selalu siap menolong anak
untuk tetap konsisten pada aturan yang sudah ditetapkan.
Kerendahan hati; integritas juga mencakup kerendahan hati. Kerendahan hati diartikan
sebagai sifat yang tidak sombong atau tidak angkuh. Pribadi
yang rendah hati biasanya justru memandang bahwa orang lain sebagai ciptaan Tuhan
memiliki keunikan dan keistimewaan, sehingga dia senantiasa membuat orang lain
merasa penting. Karena sesungguhnya setiap pribadi adalah istimewa. Setiap
orang adalah spesial, unik, dan berhak untuk dihargai. Manusia adalah pribadi
yang harus diperlakukan khusus. Manusia adalah makhluk yang sangat sensitif.
Jika kita meragukan hal ini, lihat diri kita sendiri dan perhatikan betapa
mudahnya kita merasa disakiti atau tersinggung.
Rendah
hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh
dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan
mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar,
menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangan sikap tenggang rasa, seta
mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban hidup
ini.
Keberanian ; integritas juga mencakup keberanian untuk
melakukan hal yang benar, bahkan meskipun itu berat. “Berani karena benar”
slogan yang sering kita dengar. Keberanian akan menimbulkan rasa percaya diri.
Keberanian dan percaya diri dalam diri anak sedikit banyak dipengaruhi
oleh pola pengasuhan orangtuanya. Kepercayaan diri yang dilatih sejak masa
tumbuh kembang anak diharapkan akan melahirkan pribadi yang yakin atas dirinya,
kompeten, dan menghargai dirinya secara sehat dan positif. Oleh karenanya ini
menjadi tugas bagi para orang tua untuk dapat membantu mewujudkan anak menjadi
pribadi yang positif tersebut.
Orang
tua sesibuk apapun hendaknya tetap memiliki waktu khusus untuk bersama dengan
anaknya. Ketika anak meminta perhatian Anda, cobalah untuk mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Tinggalkan sebentar pekerjaan Anda, tatap matanya dan
dengarkan ia bicara. Mengabaikannya akan membuat ia merasa tidak berharga,
tidak layak untuk diperhatikan, dan ini bisa mengoyak rasa percaya dirinya.
Selain perhatian dan kemauan untuk mendengarkan orang tua juga harus mampu
menunjukan sikap menghargai. Biarkan anak melakukan sendiri apa yang sudah bisa
ia lakukan. Janganlah terlalu over protective, biarkan anak untuk mencoba
sendiri dan mengerti konsep sebab akibat dari suatu tingkah laku. Hal ini
diperlukan agar anak terbiasa berfikir dan bersikap mandiri sebelum melakukan
sesuatu.
Dalam
sebuah artikel yang berjudul Melatih Keberanian dan Harga Diri Anak, di web
bookadvisormds.com menyatakan bahwa, Untuk menumbuhkan keberanian anak harus
distimulasi sesering mungkin, salah satunya yaitu dengan memberikan kesempatan
pada anak untuk mengungkapkan pendapatnya. Untuk beberapa masalah anak dapat dilibatkan
untuk dimintai pendapatnya. Hal ini untuk melatih kepekaan dan memiliki
jiwa kepemimpinan. Namun tidak semua pendapatnya harus dituruti. Apalagi jika
berhubungan dengan kebutuhan orang lain.
Biasakan
anak untuk berani mencoba, bertanggung jawab dan berani mengambil resiko.
Ajaklah anak untuk bersikap optimis. Apabila anak tidak bisa mengerjakan
sesuatu, kondisikan anak untuk tetap berusaha dan katakan pada anak bahwa ia
pasti bisa. Semua itu akan membuat ia tahu bahwa Anda percaya ia bisa dan mampu!.
Berilah penghargaan kepada anak, sekecil apapun keberhasilan yang dibuatnya.
Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan dirinya untuk mencapai keberhasilan yang
lebih besar. Apabila ia gagal dalam melakukan sesuatu, besarkanlah
hatinya, yakinkan bahwa dengan usaha dan tentu saja pertolongan dari Allah,
suatu saat ia pasti bisa untuk mencapai apa yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar